Pajak adalah iuran kepada
negara (yang dapat dipaksakan), yang terhutang oleh yang wajib membayarnya.[1] Pajak
telah memberikan penerimaan terbesar bagi negara Indonesia tercinta ini. Salah satu
sumber pajak yang diterima oleh negara adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB). Dasar hukum pemungutan BPHTB adalah Undang-undang Nomor 21
Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dengan
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997. Obyek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan, dan Hibah Wasiat merupakan obyek dari Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam pelaksanaan pemungutan BPHTB atas
Hibah Wasiat juga terdapat masalah, salah satunya yang menyangkut tentang
perhitungan BPHTB atas hibah wasiat yang diterima secara bersama oleh keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke
bawah dengan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus ke samping. Untuk itu
penulis mengangkat masalah pelaksanaan pemungutahn BPHTB atas perolehan hak
berdasarakan Hibah Wasiat. Adapun rumusan masalah dalam penulisan
ini adalah:
1. Bagaimanakah
pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) atas
perolehan hak berdasarkan Hibah Wasiat ?
2. Apa
kendala yang timbul dalam pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
Dan Bangunan (BPHTB) atas perolehan hak berdasarkan Hibah Wasiat dan bagaimana
penyelesaian terhadap kendala-kendala tersebut?
Pelaksanaan Pemungutan Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Atas Perolehan Hak Berdasarkan Hibah Wasiat
Di dalam Pasal 957 BW
dijelaskan bahwa hibah wasiat diartikan sebagai suatu penetapan wasiat yang
khusus, dengan mana si yang mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan
beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu. Hibah wasiat atau Legaat
adalah suatu penetapan yang khusus di dalam suatu testament, dengan
mana mewasiatkan memberikan seorang (atau lebih) seluruh atau sebagian dari
harta kekayaannya, kalau dia meninggal dunia.[2]
Berdasarkan Undang-undang
No.20 Tahun 2002, hibah wasiat merupakan salah satu obyek dari Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disebut dengan BPHTB. BPHTB
merupakan salah satu pajak obyektif atau pajak kebendaan dimana pajak terutang didasarkan
pertama-tama pada apa yang menjadi obyek pajak baru kemudian memperhatikan siapa
yang menjadi subyek pajak.[3]
Pemungutan BPHTB dilakukan dengan cara self assessment, yaitu wajib
pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung sendiri serta membayar sendiri
pajak yang terutang dengan mengggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (SSB) dan melaporkannya tanpa mendasarkan kepada adanya surat
ketetapan pajak. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 10
ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan terhadap
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Pajak BPHTB yang berbunyi: Wajib
pajak wajib membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya
surat ketetapan Pajak.
Pemungutan terhadap BPHTB
yang didasarkan atas adanya peralihan hak atas tanah dan bangunan yang
disebabkan adanya hibah wasiat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat
dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB. Dalam Pasal 2 ayat (2) pada
angka 4 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB
disebutkan bahwa hibah wasiat merupakan termasuk obyek pajak sebagai
akibat perolehan hak atas tanah dan bangunan. Dengan adanya ketentuan tersebut,
maka setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan sebagai akibat dari adanya
hibah wasiat harus memenuhi kewajiban untuk membayar pajak yaitu BPHTB. Dalam
pemungutan BPHTB, termasuk dari hibah wasiat ini dilakukan secara self
assessment, yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang,
kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus
dibayar. Hal ini sesuai dengan kententuan dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 20
Tahun 2000 yang berbunyi : wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang
dengan tidak mendasarkan pada adanya surat
ketetapan pajak. Keterangan tersebut lebih diperjelas dalam penjelasan Pasal 10
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 yang berbunyi : sistem pemungutan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah self assessment, dimana
wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang
terutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(SSB) dan melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat ketetapan pajak.
Jadi dari keterangan di atas terlihat dalam hal ini wajib pajak dipercayakan
untuk menghitung besarnya BPHTB yang harus dibayarkan sebagai akibat adanya
perolehan hak atas tanah dan bangunan yang berasal dari adanya hibah wasiat. Sebelum
melaksanakan pembayaran terhadap BPHTB atas hibah wasiat yang diterima, berikut
beberapa tahapan yang harus dilalui oleh wajib pajak:
1. Tahap Saat Pajak Terutang
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000, yaitu
pada Pasal 9 ayat (1) huruf i tersebut terlihat, bahwa ketika penerima hibah
wasiat melakukan pendaftaran untuk peralihan haknya atas harta dari hibah
wasiat yang diterimanya kepada Kantor Pertanahan, maka saat itu juga dia sudah
mempunyai kewajiban untuk membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
dari peralihan haknya tersebut. Lebih lanjut dalam Pasal 9 ayat (2)
Undangundang Nomor 20 Tahun diterangkan, bahwa: pajak yang terutang harus
dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).Dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang yang sama diterangkan juga, bahwa :
tempat terutang pajak adalah wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang
meliputi letak tanah dan atau bangunan. Jadi timbulnya kewajiban untuk membayar
BPHTB adalah saat dilakukan peralihan hak ke Kantor Pertanahan, yaitu Kantor
Pertanahan yang meliputi letak tanah dan atau bangunan yang akan dialihkan
haknya karena hibah wasiat tersebut, atau sebelum peralihan hak hibah wasiat
tersebut dilakukan, kewajiban untuk membayar BPHTB juga belum lahir.
2. Tahap Perhitungan Besarnya Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan yang harus dibayar dan cara perhitungannya.
Setelah mengetahui tentang
telah timbulnya utang pajak, yaitu BPHTB dengan melakukan pendaftaran peralihan
hak atas harta hibah wasiat yang diterima, maka selanjutnya tentu ingin
mengetahui seberapa besar utang pajak yang timbul serta bagaimana cara
perhitungannya karena seperti telah diterangkan sebelumnya, bahwa pemungutan
pajak BPHTB dilakukan secara self assessment, yaitu wajib pajak yang menghitung
dan membayarnya sendiri jumlah pajak yang harus dibayar, tanpa harus menunggu
diterbit surat ketetapan pajak lebih dulu.
Kendala yang Timbul dalam pelaksanaan
pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Atas Perolehan Hak
Berdasarkan Hibah Wasiat dan Upaya Penyelesaiannya
1. Kendala yang berhubungan
dengan wajib pajak
Kendala yang berhubungan wajib pajak lebih
disebabkan oleh kekurangtahuan dari para wajib pajak tersebut terhadap aturan
hukum yang berlaku, terutama di bidang Pajak
2. Kendala yang berhubungan perhitungan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Untuk kendala yang berhubungan perhitungan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, sebagian besar lebih disebabkan oleh ketidaktahuan
dari wajib pajak tentang cara perhitungan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku karena dalam kenyataannya
berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, banyak wajib pajak melakukan perhitungan
tidak sesuai dengan yang semestinya, sehingga kadang kala ada wajib pajak yang
setelah dilakukan penelitian terhadap perhitungan atas Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan yang berasal dari hibah wasiat yang dilakukannya, terdapat
kelebihan dari jumlah yang seharusnya disetorkan. Tidak jarang pula dari
perhitungan yang dilakukan banyak setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan yang berasal dari hibah wasiat yang dibayarkan kurang dari yang
seharusnya karena adanya kesalahan dalam melakukan perhitungan terhadap Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Terhadap kendala-kendala yang telah
penulis kemukakan sebelumnya, berikut beberapa penyelesaian yang penulis
dapatkan untukmenghadapi atau untuk menghindari kendala sebagaimana tersebut di
atas.
1. Untuk kendala yang berhubungan
dengan wajib pajak
Para pegawai pajak seharusnya lebih
mensosialisasikan tentang berbagai macam Pajak yang ada, sehingga para wajib
pajak mengetahuinya secara baik. Dalam hal wajib pajak masih belum mengetahui
tentang Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Atas
Perolehan Hak Berdasarkan Hibah Wasiat serta tata cara perhitungan dan
sebagainya, maka wajib pajak dapat saja meminta bantuan dari pegawai pajak
untuk membantu menghitung Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB)
Atas Perolehan Hak atas Hibah Wasiat yang harus dibayarkan, sehingga dalam
melakukan perhitungan tidak ada kesalahan seperti kelebihan atau kekurangan pembayaran
dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Atas Perolehan Hak
berdasarkan Hibah Wasiat yang dibayarkan. Selain itu, kantor pajak dapat saja
menyediakan sarana yang lebih mudah dalam menghitung Bea Perolehan Hak Atas
Tanah Dan Bangunan (BPHTB) atas Perolehan Hak berdasarkan Hibah Wasiat,
misalnya dengan membuat program komputer untuk menghitung Bea Perolehan Hak
Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) atas Perolehan Hak berdasarkan Hibah Wasiat,
sehingga wajib pajak tidak perlu harus menghitung sendiri Bea Perolehan Hak
Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) atas Perolehan Hak berdasarkan Hibah Wasiat
yang harus dibayarkan.
2. Untuk kendala yang berhubungan perhitungan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Kendala yang timbul dalam
perhitungan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) salah satunya
adalah dalam hal terjadi masalah mengenai hibah wasiat yang diberikan kepada
dua orang yang berbeda. Untuk penyelesaiannya jika ada hibah wasiat yang
diberikan kepada dua orang yang berbeda, pemakaian Nilai Perolehan Obyek Pajak
Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) terhadap perhitungan atas kewajiban Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan dari hibah wasiat, adalah sebagai berikut :
a. Setelah
dilakukan pengesahan hibah wasiat dengan pembuatan akta hibah wasiat di hadapan
PPAT, dalam akta tersebut sebaiknya harta yang menjadi hibah wasiat antara dua
orang yang berbeda pemakaian Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena
Pajak(NPOPTKP) terhadap perhitungan atas kewajiban Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan dari hibah wasiat, yaitu antara keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus ke samping, langsung dibagi dua atau dibagi rata,
sehingga dalam melakukan pendaftaran peralihan haknya, dilakukan secara masingmasing
oleh yang menerimanya.
b. Setelah itu barulah dihitung
besarnya jumlah BPHTB dari hibah wasiat itu.
- Misal:
kewajiban atas BPHTB Rp 3.000.000.000,00
- Dengan demikian karena dalam
akta hibah langsung dibagi dua, maka masing-
masing mendapatkan sebesar Rp.1.500.000.000,00
1) Untuk keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah termasuk istri/suami
NPOP Tidak Kena Pajak Rp 300.000.000,00
NPOP Kena Pajak Rp 2. 700.000.000,00
BPHTB yang terutang 5% x Rp 2. 700.000.000,00= Rp
135.000.000,00
BPHTB Hibah Wasiat 50%x Rp 135.000.000,00= Rp
67.500.000,00
2) Untuk keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus ke samping Perhitungan besarnya kewajiban Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan dari hibah wasiat adalah :
Maka NPOP Rp 3.000.000.000,00
NPOP Tidak Kena Pajak Rp 60.000.000,00
NPOP Kena Pajak Rp 2. 940.000.000,00
BPHTB yang terutang 5% x Rp 2. 940.000.000,00= Rp
147.000.000,00
BPHTB Hibah Wasiat 50%x Rp 147.000.000,00= Rp
73.500.000,00
Jadi Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) yang arus dibayarkan oleh penerima hibah wasiat yang tergolong
eluarga sedarah dalam garis keturunan lurus ke samping adalah p.73.500.000,00
(tujuh puluh tiga juta lima ratus ribu rupiah) engan memakai Nilai Perolehan
Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) sebesar Rp.60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah).
Kesimpulan:
1. Bahwa pemungutan
terhadap BPHTB yang didasarkan peralihan hak atas tanah dan bangunan yang disebabkan
adanya hibah wasiat dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor
20 Tahun 2000 dimana dalam pelaksanaan pemungutan terdapat beberapa tahapan
yang harus dilalui, yaitu Tahap Saat Pajak Terutang, Tahap Perhitungan Besarnya
Bea Perolehan Hak Atas Tanahdan Bangunan yang harus dibayar dan cara
perhitungannya.
2. Bahwa dalam
pelaksanaan pemungutan BPHTB tersebut ada kendala yang dihadapi, misalnya
kendala yang berhubungan dengan wajib pajak, seperti ketidaktahuan wajib pajak
dan kendala yang berhubungan perhitungan seperti perhitungan terhadap hibah
wasiat yang diterima bersama. Untuk penyelesaian terhadap kendala yang timbul
untuk yang menyangkut wajib pajak, maka pegawai pajak seharusnya lebih mensosialisasikan
tentang berbagai macam pajak atau kantor pajak dapat saja menyediakan sarana yang
lebih mudah dalam menghitung BPHTB atas Perolehan Hak berdasarkan Hibah Wasiat.
Saran:
1. Kantor pajak
sebaiknya menyediakan sarana yang lebih mudah dalam menghitung Bea Perolehan
Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) atas Perolehan Hak berdasarkan Hibah
Wasiat, misalnya dengan membuat program komputer untuk BPHTB, sehingga wajib
pajak hanya memasukkan data luas obyek BPHTB dan harga NJOPnya saja, maka
jumlah BPHTB yang harus dibayar terhitung dengan sendirinya.
2. Kantor
pajak dapat menyediakan pendamping di setiap kantor pajak sehingga untuk wajib
pajak yang kurang mengetahui tentang BPHTB ada pegawai pajak yang membantu dan
mendampingi terhadap perhitungannya
[1] R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak,
Cet. 3, (Bandung : PT. Eresco Bandung, 1987),
hal. 2.
[2] Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di
Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta
: Prestasi Pustaka Publisher, 2006), hal. 299.
[3] Marihot Pahala Siahaan, Bea
Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Teori Dan Praktek, Edisi I ,Cet. I, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo, 2003), hal. 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar