Wikipedia

Hasil penelusuran

Selasa, 18 Juni 2013

Analisis Pelaksanaan Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk Hibah Wasiat Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan



Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan), yang terhutang oleh yang wajib membayarnya.[1] Pajak telah memberikan penerimaan terbesar bagi negara Indonesia tercinta ini. Salah satu sumber pajak yang diterima oleh negara adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dasar hukum pemungutan BPHTB adalah Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997. Obyek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, dan Hibah Wasiat merupakan obyek dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam pelaksanaan pemungutan BPHTB atas Hibah Wasiat juga terdapat masalah, salah satunya yang menyangkut tentang perhitungan BPHTB atas hibah wasiat yang diterima secara bersama oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus ke samping. Untuk itu penulis mengangkat masalah pelaksanaan pemungutahn BPHTB atas perolehan hak berdasarakan Hibah Wasiat. Adapun rumusan masalah dalam penulisan ini adalah:
1.     Bagaimanakah pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) atas perolehan hak berdasarkan Hibah Wasiat ?
2.    Apa kendala yang timbul dalam pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) atas perolehan hak berdasarkan Hibah Wasiat dan bagaimana penyelesaian terhadap kendala-kendala tersebut?



     Pelaksanaan Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Atas Perolehan Hak Berdasarkan Hibah Wasiat

Di dalam Pasal 957 BW dijelaskan bahwa hibah wasiat diartikan sebagai suatu penetapan wasiat yang khusus, dengan mana si yang mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu. Hibah wasiat atau Legaat adalah suatu penetapan yang khusus di dalam suatu testament, dengan mana mewasiatkan memberikan seorang (atau lebih) seluruh atau sebagian dari harta kekayaannya, kalau dia meninggal dunia.[2]
Berdasarkan Undang-undang No.20 Tahun 2002, hibah wasiat merupakan salah satu obyek dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disebut dengan BPHTB. BPHTB merupakan salah satu pajak obyektif atau pajak kebendaan dimana pajak terutang didasarkan pertama-tama pada apa yang menjadi obyek pajak baru kemudian memperhatikan siapa yang menjadi subyek pajak.[3] Pemungutan BPHTB dilakukan dengan cara self assessment, yaitu wajib pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung sendiri serta membayar sendiri pajak yang terutang dengan mengggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SSB) dan melaporkannya tanpa mendasarkan kepada adanya surat ketetapan pajak. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan terhadap Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Pajak BPHTB yang berbunyi: Wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan Pajak.
Pemungutan terhadap BPHTB yang didasarkan atas adanya peralihan hak atas tanah dan bangunan yang disebabkan adanya hibah wasiat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB. Dalam Pasal 2 ayat (2) pada angka 4 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB  disebutkan bahwa hibah wasiat merupakan termasuk obyek pajak sebagai akibat perolehan hak atas tanah dan bangunan. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan sebagai akibat dari adanya hibah wasiat harus memenuhi kewajiban untuk membayar pajak yaitu BPHTB. Dalam pemungutan BPHTB, termasuk dari hibah wasiat ini dilakukan secara self assessment, yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Hal ini sesuai dengan kententuan dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 yang berbunyi : wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Keterangan tersebut lebih diperjelas dalam penjelasan Pasal 10 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 yang berbunyi : sistem pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah self assessment, dimana wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SSB) dan melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat ketetapan pajak. Jadi dari keterangan di atas terlihat dalam hal ini wajib pajak dipercayakan untuk menghitung besarnya BPHTB yang harus dibayarkan sebagai akibat adanya perolehan hak atas tanah dan bangunan yang berasal dari adanya hibah wasiat. Sebelum melaksanakan pembayaran terhadap BPHTB atas hibah wasiat yang diterima, berikut beberapa tahapan yang harus dilalui oleh wajib pajak:
1.      Tahap Saat Pajak Terutang
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000, yaitu pada Pasal 9 ayat (1) huruf i tersebut terlihat, bahwa ketika penerima hibah wasiat melakukan pendaftaran untuk peralihan haknya atas harta dari hibah wasiat yang diterimanya kepada Kantor Pertanahan, maka saat itu juga dia sudah mempunyai kewajiban untuk membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dari peralihan haknya tersebut. Lebih lanjut dalam Pasal 9 ayat (2) Undangundang Nomor 20 Tahun diterangkan, bahwa: pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).Dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang yang sama diterangkan juga, bahwa : tempat terutang pajak adalah wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan. Jadi timbulnya kewajiban untuk membayar BPHTB adalah saat dilakukan peralihan hak ke Kantor Pertanahan, yaitu Kantor Pertanahan yang meliputi letak tanah dan atau bangunan yang akan dialihkan haknya karena hibah wasiat tersebut, atau sebelum peralihan hak hibah wasiat tersebut dilakukan, kewajiban untuk membayar BPHTB juga belum lahir.
2.    Tahap Perhitungan Besarnya Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang harus dibayar dan cara perhitungannya.
         Setelah mengetahui tentang telah timbulnya utang pajak, yaitu BPHTB dengan melakukan pendaftaran peralihan hak atas harta hibah wasiat yang diterima, maka selanjutnya tentu ingin mengetahui seberapa besar utang pajak yang timbul serta bagaimana cara perhitungannya karena seperti telah diterangkan sebelumnya, bahwa pemungutan pajak BPHTB dilakukan secara self assessment, yaitu wajib pajak yang menghitung dan membayarnya sendiri jumlah pajak yang harus dibayar, tanpa harus menunggu diterbit surat ketetapan pajak lebih dulu.

  
     Kendala yang Timbul dalam pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Atas Perolehan Hak Berdasarkan Hibah Wasiat dan Upaya Penyelesaiannya

1.      Kendala yang berhubungan dengan wajib pajak
Kendala yang berhubungan wajib pajak lebih disebabkan oleh kekurangtahuan dari para wajib pajak tersebut terhadap aturan hukum yang berlaku, terutama di bidang Pajak
2.      Kendala yang berhubungan perhitungan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Untuk kendala yang berhubungan perhitungan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, sebagian besar lebih disebabkan oleh ketidaktahuan dari wajib pajak tentang cara perhitungan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku karena dalam kenyataannya berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, banyak wajib pajak melakukan perhitungan tidak sesuai dengan yang semestinya, sehingga kadang kala ada wajib pajak yang setelah dilakukan penelitian terhadap perhitungan atas Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang berasal dari hibah wasiat yang dilakukannya, terdapat kelebihan dari jumlah yang seharusnya disetorkan. Tidak jarang pula dari perhitungan yang dilakukan banyak setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang berasal dari hibah wasiat yang dibayarkan kurang dari yang seharusnya karena adanya kesalahan dalam melakukan perhitungan terhadap Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Terhadap kendala-kendala yang telah penulis kemukakan sebelumnya, berikut beberapa penyelesaian yang penulis dapatkan untukmenghadapi atau untuk menghindari kendala sebagaimana tersebut di atas.
1.      Untuk kendala yang berhubungan dengan wajib pajak
Para pegawai pajak seharusnya lebih mensosialisasikan tentang berbagai macam Pajak yang ada, sehingga para wajib pajak mengetahuinya secara baik. Dalam hal wajib pajak masih belum mengetahui tentang Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Atas Perolehan Hak Berdasarkan Hibah Wasiat serta tata cara perhitungan dan sebagainya, maka wajib pajak dapat saja meminta bantuan dari pegawai pajak untuk membantu menghitung Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Atas Perolehan Hak atas Hibah Wasiat yang harus dibayarkan, sehingga dalam melakukan perhitungan tidak ada kesalahan seperti kelebihan atau kekurangan pembayaran dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Atas Perolehan Hak berdasarkan Hibah Wasiat yang dibayarkan. Selain itu, kantor pajak dapat saja menyediakan sarana yang lebih mudah dalam menghitung Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) atas Perolehan Hak berdasarkan Hibah Wasiat, misalnya dengan membuat program komputer untuk menghitung Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) atas Perolehan Hak berdasarkan Hibah Wasiat, sehingga wajib pajak tidak perlu harus menghitung sendiri Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) atas Perolehan Hak berdasarkan Hibah Wasiat yang harus dibayarkan.
2.      Untuk kendala yang berhubungan perhitungan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
         Kendala yang timbul dalam perhitungan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) salah satunya adalah dalam hal terjadi masalah mengenai hibah wasiat yang diberikan kepada dua orang yang berbeda. Untuk penyelesaiannya jika ada hibah wasiat yang diberikan kepada dua orang yang berbeda, pemakaian Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) terhadap perhitungan atas kewajiban Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dari hibah wasiat, adalah sebagai berikut :
a. Setelah dilakukan pengesahan hibah wasiat dengan pembuatan akta hibah wasiat di hadapan PPAT, dalam akta tersebut sebaiknya harta yang menjadi hibah wasiat antara dua orang yang berbeda pemakaian Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak(NPOPTKP) terhadap perhitungan atas kewajiban Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dari hibah wasiat, yaitu antara keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus ke samping, langsung dibagi dua atau dibagi rata, sehingga dalam melakukan pendaftaran peralihan haknya, dilakukan secara masingmasing oleh yang menerimanya.
b. Setelah itu barulah dihitung besarnya jumlah BPHTB dari hibah wasiat itu.
- Misal: kewajiban atas BPHTB Rp 3.000.000.000,00 
- Dengan demikian karena dalam akta hibah langsung dibagi dua, maka masing-  masing mendapatkan sebesar Rp.1.500.000.000,00
1) Untuk keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau   satu derajat ke bawah termasuk istri/suami
NPOP Tidak Kena Pajak Rp 300.000.000,00
NPOP Kena Pajak Rp 2. 700.000.000,00
BPHTB yang terutang 5% x Rp 2. 700.000.000,00= Rp 135.000.000,00
BPHTB Hibah Wasiat 50%x Rp 135.000.000,00= Rp 67.500.000,00
2) Untuk keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus ke samping Perhitungan besarnya kewajiban Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dari hibah wasiat adalah :
Maka NPOP Rp 3.000.000.000,00
NPOP Tidak Kena Pajak Rp 60.000.000,00
NPOP Kena Pajak Rp 2. 940.000.000,00
BPHTB yang terutang 5% x Rp 2. 940.000.000,00= Rp 147.000.000,00
BPHTB Hibah Wasiat 50%x Rp 147.000.000,00= Rp 73.500.000,00
Jadi Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang arus dibayarkan oleh penerima hibah wasiat yang tergolong eluarga sedarah dalam garis keturunan lurus ke samping adalah p.73.500.000,00 (tujuh puluh tiga juta lima ratus ribu rupiah) engan memakai Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) sebesar Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

 
Kesimpulan:

1.      Bahwa pemungutan terhadap BPHTB yang didasarkan peralihan hak atas tanah dan bangunan yang disebabkan adanya hibah wasiat dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 dimana dalam pelaksanaan pemungutan terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui, yaitu Tahap Saat Pajak Terutang, Tahap Perhitungan Besarnya Bea Perolehan Hak Atas Tanahdan Bangunan yang harus dibayar dan cara perhitungannya.
2.      Bahwa dalam pelaksanaan pemungutan BPHTB tersebut ada kendala yang dihadapi, misalnya kendala yang berhubungan dengan wajib pajak, seperti ketidaktahuan wajib pajak dan kendala yang berhubungan perhitungan seperti perhitungan terhadap hibah wasiat yang diterima bersama. Untuk penyelesaian terhadap kendala yang timbul untuk yang menyangkut wajib pajak, maka pegawai pajak seharusnya lebih mensosialisasikan tentang berbagai macam pajak atau kantor pajak dapat saja menyediakan sarana yang lebih mudah dalam menghitung BPHTB atas Perolehan Hak berdasarkan Hibah Wasiat.


Saran:

1.      Kantor pajak sebaiknya menyediakan sarana yang lebih mudah dalam menghitung Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) atas Perolehan Hak berdasarkan Hibah Wasiat, misalnya dengan membuat program komputer untuk BPHTB, sehingga wajib pajak hanya memasukkan data luas obyek BPHTB dan harga NJOPnya saja, maka jumlah BPHTB yang harus dibayar terhitung dengan sendirinya.
2.     Kantor pajak dapat menyediakan pendamping di setiap kantor pajak sehingga untuk wajib pajak yang kurang mengetahui tentang BPHTB ada pegawai pajak yang membantu dan mendampingi terhadap perhitungannya


[1] R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Cet. 3, (Bandung : PT. Eresco Bandung, 1987), hal. 2.

[2] Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2006), hal. 299.

[3]   Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Teori Dan Praktek, Edisi I ,Cet. I, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2003), hal. 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar