Wikipedia

Hasil penelusuran

Rabu, 12 Juni 2013

Penerapan Prinsip-prinsip Mediasi di dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

     Mediasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian persengketaan yang diselenggarakan di luar pengadilan, dimana pihak-pihak yang bersengketa meminta atau menggunakan bantuan dari pihak ketiga yang netral untuk membantu menyelesaikan pertikaian di antara mereka. Mediasi ini berbeda dengan bentuk penyelesaian pertikaian alternatif yang lain seperti negosisi atau arbritrasi, karena di dalam mediasi ini selain menghadirkan seorang penengah (mediator) yang netral, secara teori ia dibangun di atas beberapa landasan filosofis seperti (David Spencer, Michael Brogan, 2006:3) :

1.    Confidentiality (kerahasiaan)
Bahwasannya segala sesuatu yang terjadi di dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan disputants (pihak-pihak yang bertikai) bersifat rahasia dan tidak boleh disiarkan kepada publik atau pers oleh masing-masing pihak. Demikian juga sang mediator harus menjaga kerahasiaan dari isi mediasi tersebut serta sebaiknya menghancurkan semua catatannya di akhir sesi mediasi yang ia lakukan. Mediator juga tidak bisa dipanggil sebagai saksi dalam kasus yang dilakukan penyelesaiannya di dalam mediasi yang ia prakarsai apabila kasus tersebut dibawa ke forum yang lain, seperti pengadilan. Masing-masing pihak yang bertikai (disputants) disarankan untuk saling menghormati kerahasiaan tiap-tiap isu dan kepentingan dari masing-masing pihak. Jaminan kerahasiaan ini harus diberikan supaya masing-masing pihak dapat mengungkapkan masalah dan kebutuhannya secara langsung dan terbuka.
Penerapan prinsip ini tercantum dalam:
a)        Pasal 6 PERMA No. 1 Tahun 2008 yang berbunyi, “Proses mediasi pada asasnya tertutup kecuali para pihak menghendaki lain”.
b)  Pasal 19 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 2008 yang berbunyi, “Catatan mediator wajib dimusnahkan”.
c)    Pasal 19 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2008 yang berbunyi, “Mediator tidak boleh diminta menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan”.

2.    Voluntariness (kesukarelaan)
yaitu,  masing-masing pihak yang bertikai (disputants) datang ke mediasi atas kemauan diri sendiri secara suka rela dan tidak ada  paksaan dari pihak luar. Prinsip kesukarelaan ini dibangun atas dasar bahwa orang akan mau bekerja sama untuk menemukan jalan keluar dari persengketaan mereka bila mereka datang ke tempat perundingan atas pilihan mereka sendiri, akan tetapi perlu diperhatikan bahwa di dalam Pasal 4 PERMA No. 1 Tahun 2008 secara implisit tertulis, yakni semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator, kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Hal ini sama sekali tidak mencerminkan adanya prinsip kesukarelaan karena adanya unsur paksaan atas adanya kewajiban tersebut.

3.    Empowerment (pemberdayaan)
Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa orang yang mau datang ke mediasi sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menegosiasikan masalah mereka sendiri dan dapat mencapai kesepakatan yang mereka inginkan. Kemampuan mereka dalam hal ini harus diakui dan dihargai, oleh karena itu setiap solusi atau jalan penyelesaian sebaiknya tidak dipaksakan dari luar tetapi harus muncul dari pemberdayaan terhadap masing-masing pihak (disputants) karena hal itu akan lebih memungkinkan bagi keduanya untuk menerimanya.
 Penerapan prinsip ini tercantum dalam:
a)     Pasal 7 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2008, yang berbunyi “Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi”.
b)      Pasal 15 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 2008,  yang berbunyi ” Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses smediasi”.
c)     Pasal 15 ayat (4) PERMA No. 1 Tahun 2008, yang berbunyi “Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak”.

4.    Neutrality (kenetralan)
Di dalam mediasi peran seorang mediator hanyalah memfasilitasi prosesnya saja dan isinya tetap menjadi milik disputans (pihak yang bertikai), sedangkan mediator hanya mengontrol proses. Di dalam mediasi seorang mediator tidak bertindak layaknya seorang hakim atau juri yang memutuskan salah benarnya salah satu pihak atau mendukung pendapat dari salah satunya, atau memaksakan pendapat dan jalan keluar/penyelesaian kepada kedua belah pihak.
Penerapan prinsip ini tercantum dalam Pasal 1 angka 6 PERMA No. 1 Tahun 2008 yang berbunyi, “Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian”.

5.    Unique Solution (solusi yang unik)
Solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak harus sesuai dengan standar legal, tetapi dihasilkan dari proses kreatifitas dan oleh karenanya hasilnya mungkin akan lebih banyak. Hal ini  berkaitan erat dengan konsep pemberdayaan terhadap masing-masing pihak.
Di dalam PERMA No. 1 Tahun 2008  tidak dijelaskan secara gamblang mengenai prinsip lain yang membedakan antara mediasi dengan penyelesaian sengketa di pengadilan. Peraturan-perundangan tersebut tidak menjelaskan tentang, prinsip mediasi yang dalam proses pelaksanaannya tidak mengedepankan pembuktian materiil karena memang tidak untuk memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak lainnya. Tidak dijelaskannya secara detail prinsip-prinsip mediasi ini tentu menjadi catatan penting bagi peraturan-perundangan yang ada.


Kesesuaian Antara Prosedur Mediasi Berdasarkan Perma No. 01 Tahun 2008 Dengan Pelaksanaan Asas Sederhana, Cepat, Dan Biaya Ringan Pada Persidangan di Pengadilan

Prosedur mediasi berdasarkan Perma No.1 Tahun 2008 ditinjau dari asas sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagai berikut:
·             Asas Sederhana:
Prosedur mediasi sebagian besar tidak begitu rumit, tidak terlalu banyak formalitas atau peraturan. Di dalam mediasi berdasarkan Perma No. 01 Tahun 2008 tidak memerlukan serangkaian mekanisme yang sulit seperti dalam litigasi, kaitannya dengan hal itu para pihak diberikan hak secara penuh dan aktif untuk menyelesaikan sengketa dengan caranya sendiri serta didampingi mediator. Sehingga pada akhirnya, asas sederhana dapat tercapai, dan tidak ada permasalahan berkaitan dengan asas tersebut.
·            Asas Cepat:
Mengenai pelaksanaan asas cepat dari yang dulunya 22 hari menjadi 40 hari. Dalam kenyataannya proses mediasi kurang maksimal dilaksanakan karena sebagian besar para pihak itu sendiri menghendaki untuk mengakhiri proses mediasi kurang dari waktu yang ditentukan, sehingga waktu yang tersisa kurang bermanfaat.
·            Asas Biaya Ringan:
Apabila dikaitkan dengan jangka waktu 40 hari, bagi pengadilan memang tidak dipungut biaya, namun bagi para pihak sendiri akan merasa terbebani oleh biaya terhadap sarana dan fasilitas yang dibutuhkan terhadap kepentingannya di luar pengadilan, seperti biaya transport selama proses mediasi, biaya kuasa hukum, jasa penyelenggaraan tempat diluar pengadilan.

Untuk jangka waktu mediasi yang diperpanjang (40 hari), dalam praktek tidak harus mutlak sampai batas waktu tersebut, namun dapat dipersingkat berdasarkan kesepakatan para pihak. Pada akhirnya asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dapat terpenuhi apabila mediasi berhasil (mencapai kesepakatan). Sebaliknya akan menjadi complicated, lama, dan biaya mahal apabila memasuki litigasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar