Mediasi merupakan salah satu bentuk
penyelesaian persengketaan yang diselenggarakan di luar pengadilan, dimana pihak-pihak
yang bersengketa meminta atau menggunakan bantuan dari pihak ketiga yang netral
untuk membantu menyelesaikan pertikaian di antara mereka. Mediasi ini berbeda
dengan bentuk penyelesaian pertikaian alternatif yang lain seperti negosisi
atau arbritrasi, karena di dalam mediasi ini selain menghadirkan seorang
penengah (mediator) yang netral, secara teori ia dibangun di atas beberapa
landasan filosofis seperti (David Spencer, Michael Brogan, 2006:3) :
1. Confidentiality
(kerahasiaan)
Bahwasannya segala sesuatu yang terjadi di
dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan disputants
(pihak-pihak yang bertikai) bersifat rahasia dan tidak boleh disiarkan kepada
publik atau pers oleh masing-masing pihak. Demikian juga sang mediator harus
menjaga kerahasiaan dari isi mediasi tersebut serta sebaiknya menghancurkan
semua catatannya di akhir sesi mediasi yang ia lakukan. Mediator juga tidak
bisa dipanggil sebagai saksi dalam kasus yang dilakukan penyelesaiannya di
dalam mediasi yang ia prakarsai apabila kasus tersebut dibawa ke forum yang
lain, seperti pengadilan. Masing-masing pihak yang bertikai (disputants)
disarankan untuk saling menghormati kerahasiaan tiap-tiap isu dan kepentingan
dari masing-masing pihak. Jaminan kerahasiaan ini harus diberikan supaya
masing-masing pihak dapat mengungkapkan masalah dan kebutuhannya secara
langsung dan terbuka.
Penerapan prinsip ini tercantum dalam:
a)
Pasal
6 PERMA No. 1 Tahun 2008
yang berbunyi, “Proses mediasi pada asasnya tertutup
kecuali para pihak menghendaki lain”.
b) Pasal
19 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 2008 yang berbunyi, “Catatan
mediator wajib dimusnahkan”.
c) Pasal
19 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2008 yang berbunyi, “Mediator
tidak boleh diminta menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang
bersangkutan”.
2. Voluntariness
(kesukarelaan)
yaitu,
masing-masing pihak yang bertikai (disputants) datang ke mediasi
atas kemauan diri sendiri secara suka rela dan tidak ada paksaan dari
pihak luar. Prinsip kesukarelaan ini dibangun atas dasar bahwa orang akan mau
bekerja sama untuk menemukan jalan keluar dari persengketaan mereka bila mereka
datang ke tempat perundingan atas pilihan mereka sendiri, akan
tetapi perlu diperhatikan bahwa di dalam Pasal
4 PERMA No. 1 Tahun 2008 secara implisit tertulis, yakni semua
sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu
diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator, kecuali
perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan
hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Hal ini sama sekali tidak mencerminkan adanya prinsip kesukarelaan
karena adanya unsur paksaan atas adanya kewajiban tersebut.
3. Empowerment
(pemberdayaan)
Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa orang yang mau
datang ke mediasi sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menegosiasikan masalah
mereka sendiri dan dapat mencapai kesepakatan yang mereka inginkan. Kemampuan
mereka dalam hal ini harus diakui dan dihargai, oleh karena itu setiap solusi
atau jalan penyelesaian sebaiknya tidak dipaksakan dari luar tetapi harus
muncul dari pemberdayaan terhadap masing-masing pihak (disputants)
karena hal itu akan lebih memungkinkan bagi keduanya untuk menerimanya.
Penerapan prinsip ini tercantum dalam:
a)
Pasal
7 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2008, yang berbunyi “Hakim,
melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk
berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi”.
b) Pasal
15 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 2008, yang berbunyi ” Mediator wajib mendorong para
pihak untuk secara langsung berperan dalam proses smediasi”.
c) Pasal
15 ayat (4) PERMA No. 1 Tahun 2008, yang berbunyi “Mediator
wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan
mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak”.
4. Neutrality
(kenetralan)
Di dalam mediasi peran seorang mediator hanyalah
memfasilitasi prosesnya saja dan isinya tetap menjadi milik disputans
(pihak yang bertikai), sedangkan mediator hanya mengontrol proses. Di dalam
mediasi seorang mediator tidak bertindak layaknya seorang hakim atau juri yang
memutuskan salah benarnya salah satu pihak atau mendukung pendapat dari salah
satunya, atau memaksakan pendapat dan jalan keluar/penyelesaian kepada kedua
belah pihak.
Penerapan prinsip ini tercantum dalam Pasal 1 angka 6 PERMA No. 1 Tahun 2008 yang
berbunyi, “Mediator adalah pihak netral yang
membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan
penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah
penyelesaian”.
5. Unique
Solution
(solusi yang unik)
Solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak
harus sesuai dengan standar legal, tetapi dihasilkan dari proses kreatifitas
dan oleh karenanya hasilnya mungkin akan lebih banyak. Hal ini berkaitan
erat dengan konsep pemberdayaan terhadap masing-masing pihak.
Di
dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 tidak dijelaskan secara gamblang mengenai
prinsip lain yang membedakan antara mediasi dengan penyelesaian sengketa di
pengadilan. Peraturan-perundangan tersebut tidak
menjelaskan tentang, prinsip mediasi yang dalam proses pelaksanaannya tidak
mengedepankan pembuktian materiil karena memang tidak untuk memenangkan salah
satu pihak dan mengalahkan pihak lainnya. Tidak dijelaskannya secara detail
prinsip-prinsip mediasi ini tentu menjadi catatan penting bagi
peraturan-perundangan yang ada.
Kesesuaian Antara Prosedur Mediasi Berdasarkan Perma No. 01 Tahun 2008 Dengan Pelaksanaan Asas Sederhana, Cepat, Dan Biaya Ringan Pada Persidangan di Pengadilan
Prosedur
mediasi berdasarkan Perma No.1 Tahun 2008 ditinjau dari asas sederhana, cepat,
dan biaya ringan sebagai berikut:
· Asas Sederhana:
Prosedur
mediasi sebagian besar tidak begitu rumit, tidak terlalu banyak formalitas atau
peraturan. Di dalam mediasi berdasarkan Perma No. 01 Tahun 2008 tidak
memerlukan serangkaian mekanisme yang sulit seperti dalam litigasi, kaitannya
dengan hal itu para pihak diberikan hak secara penuh dan aktif untuk
menyelesaikan sengketa dengan caranya sendiri serta didampingi mediator.
Sehingga pada akhirnya, asas sederhana dapat tercapai, dan tidak ada
permasalahan berkaitan dengan asas tersebut.
· Asas Cepat:
Mengenai
pelaksanaan asas cepat dari yang dulunya 22 hari menjadi 40 hari. Dalam
kenyataannya proses mediasi kurang maksimal dilaksanakan karena sebagian besar
para pihak itu sendiri menghendaki untuk mengakhiri proses mediasi kurang dari
waktu yang ditentukan, sehingga waktu yang tersisa kurang bermanfaat.
· Asas Biaya Ringan:
Apabila
dikaitkan dengan jangka waktu 40 hari, bagi pengadilan memang tidak dipungut
biaya, namun bagi para pihak sendiri akan merasa terbebani oleh biaya terhadap
sarana dan fasilitas yang dibutuhkan terhadap kepentingannya di luar
pengadilan, seperti biaya transport selama proses mediasi, biaya kuasa hukum,
jasa penyelenggaraan tempat diluar pengadilan.
Untuk jangka waktu mediasi yang
diperpanjang (40 hari), dalam praktek tidak harus mutlak sampai batas waktu
tersebut, namun dapat dipersingkat berdasarkan kesepakatan para pihak. Pada
akhirnya asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dapat terpenuhi apabila
mediasi berhasil (mencapai kesepakatan). Sebaliknya akan menjadi complicated,
lama, dan biaya mahal apabila memasuki litigasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar